Pendopo Kita -  BADAN Narkotika Nasional Provinsi (BNNP) Jateng masih mendalami fenomena anak-anak yang kecanduan pembalut rebus. Mereka nekat meminum air rebusan pembalut agar bisa merasakan sensasi sebagaimana mengonsumsi narkotika jenis sabu.
“Memakai pembalut itu sebenarnya mereka bereksperimen. Ketika dia dalam keadaan terpaksa (tidak memiliki biaya) itu akan menimbulkan suatu ide-ide. Dari ide inilah diyakini terus menimbulkan sugesti (fly),” kata psikolog, Indra Dwi Purnomo, yang turut menangani anak-anak pecandu pembalut rebus, melansir Sindonews.
Dia mengatakan, eksperimen menggunakan pembalut dimulai dari yang bekas pakai hingga membuka kemasan baru. Sementara pembalut yang paling digemari adalah jenis bersayap, karena bisa memberikan sensasi fly yang lebih dahsyat.
“Mereka pilih softex (pembalut) yang bersayap itu entah kenapa. Mereka rata-rata bilang, hasilnya ngeri-ngeri, halusinasinya ngeri,” ulasnya tanpa menjelaskan halusinasi yang dimaksud anak-anak pecandu pembalut rebus.
Menurutnya, efek fly yang dirasakan anak-anak pecandu itu berasal dari gel di dalam pembalut. Meski demikian, pihaknya belum mengetahui pasti kandungan bahan kimia yang tersimpan dalam gel. Sekadar yang diketahuinya, gel tersebut berfungsi menyerap air atau darah haid.
“Di dalam softex (pembalut) itu ada semacam sel yang bisa direbus dan bisa bikin fly. Gel softex itu untuk menyerap air supaya enggak tembus. Ini menggunakan kimia-kimia seperti apa, saya enggak tahu persis,” terangnya.
Sebelumnya diberitakan, Kepala Bidang Pemberantasan BNNP Jawa Tengah, AKBP Suprinarto, mengatakan, menemukan kasus tersebut di beberapa daerah. Kebanyakan mereka adalah anak-anak muda yang mendiami wilayah pinggiran kota, seperti Purwodadi, Kudus, Pati, Rembang, serta di Kota Semarang bagian timur.
Supri menyebut, anak-anak yang mulai kencanduan mengonsumsi air rebusan pembalut masih pada usia pelajar yakni 13-16 tahun. Keterbatasan ekonomi menjadi alasan utama bagi anak-anak tersebut, karena tak mampu membeli sabu yang harganya mencapai jutaan rupiah per gram.
“Narkotika ini pada kelompok tertentu mungkin mahal, sehingga pada kelompok masyarakat tertentu bagi anak-anak ini yang masih mencoba terutama anak jalanan, juga pingin seperti itu (mengonsumsi sabu),” kata Suprinarto. (Alz)

0 komentar:

 
Top