Gaya Presiden Jokowi mengenakan jaket jins ala 'Dilan' dan melakukan touring menggunakan motor 'chopper' ke Sukabumi, Jawa Barat, ramai menjadi perbincangan dan pemberitaan.
Namun beberapa pengamat menilai bahwa aksi presiden itu lebih soal penampilan daripada substansi.
Menggunakan motor Royal Enfield Bullet 350 cc, Presiden Jokowi memimpin touring dengan rombongan komunitas pengendara sepeda motor sejauh 30 kilometer sampai ke Pantai Pelabuhan Ratu.
Semua yang dipakai oleh Presiden Jokowi pada hari itu menjadi bahasan, dari jaket jins buatan khusus dengan peta Indonesia di bagian depannya, sepatu Vans Metallica yang dikenakan, hingga soal helm.
Meski begitu, perjalanan tersebut tak hanya soal touring, Jokowi dan rombongannya juga meninjau program padat karya irigasi, embung atau penampungan air hujan saat musim kemarau, dan membagikan 3.063 sertifikat tanah ke warga Jawa Barat.
Seperti biasa, di media sosial, percakapan soal touring Presiden Jokowi mendapat reaksi pro dan kontra.
Para pendukung melihat aksi Presiden Jokowi sebagai sesuatu yang "keren" dan "membuat meleleh". Bahkan ada warganet yang membandingkannya dengan film 'Dilan 1990'.
Sementara yang kontra, mempertanyakan biaya yang harus dikeluarkan oleh negara dalam kunjungan sekaligus touring ini.
Di Spredfast, frasa 'Jokowi touring' mengumpulkan sekitar 5.500 lebih cuitan. Dengan tagar lain, #jokowimomotoran, tercatat ada kurang lebih 12.000 cuitan yang menggunakannya, dan #jokowikukurusukan yang berkaitan dengan aksi touring tersebut juga digunakan oleh 6.000 lebih cuitan.
Tepat sasaran?
Lewat akun media sosialnya, sosiolog dan profesor studi Indonesia di Monash University, Ariel Heryanto, mengatakan bahwa, "Adu-politik menuntut kemahiran adu-gaya," dan kemudian menambahkan di cuitan selanjutnya, "Gaya, gaya, gaya".
Sentimen yang kurang lebih sama juga disampaikan oleh pengamat komunikasi politik dari Universitas Gadjah Mada, Nyarwi Ahmad.
Menurutnya, meski dalam kunjungan tersebut Presiden Jokowi melakukan pekerjaan-pekerjaan seperti meninjau proyek irigasi dan membagikan ribuan sertifikat tanah, namun pemberitaan soal kunjungan malah tertutupi oleh aksinya melakukan 'touring'.
- Cara Presiden Jokowi menghadapi 'kejamnya' media sosial
- Di balik foto 'Jokowi naik ojek' yang dibincangkan di media sosial
"Mungkin timnya sudah memikirkan keberimbangan antara performance dan substansi. Tapi ini kan kontradiksi, malah tertutupi."
"Menurut saya juga, (pesan yang disampaikan) kurang nendang, karena kita tidak tahu apa yang sebenarnya dimaui dari agenda itu. Pesannya tidak menjadi mainstream, kita cuma bisa melihat apa yang terjadi di panggung politik tapi tidak bisa melihat narasi politik besar yang dibawa, itu kelemahannya," kata Nyarwi.
Di satu sisi, Nyarwi mengakui bahwa gaya Jokowi ini "sangat milenial" dan "beradaptasi menyapa rakyat dengan gaya pasar politik yang ada".
"Kita tahu ini dekat dengan momen politik, dan presiden harus menyelamatkan elektabilitas yang stagnan. Tapi keberhasilan strategi yang dia mainkan lewat tactical populism itu pada style (gaya) saja," katanya.
Di sisi lain, dari sisi pemasaran politik, tetap harus ada produk nyata yang disampaikan untuk memenuhi ekspektasi pemilih.
Dalam kunjungan tersebut, produk nyata itu adalah sertifikat tanah yang dibagikan, namun Nyarwi melihat bahwa produk dan substansi yang disampaikan justru tertutupi oleh gaya.
- Direktur IMF blusukan dengan Jokowi, beli baju koko dan puji pedagang perempuan
- Apa dampak keikutsertaan Jokowi dalam salat Jumat bersama Rizieq Shihab?
"Tapi itu gejala global, ada political dumbing down (membodoh), di mana performance (penampilan) lebih dominan daripada substansi, karena gaya penceritaan Jokowi kan juga dominan performance, dan masyarakat lebih mudah melihat performance daripada subtansi. 'Sosok idola, kharismatik, menarik,' seperti itu."
"Tergantung segmen mana yang dibidik, kalau langsung ke masyarakat, untuk peningkatan rasa kepercayaan dan engagement ke masyarakat, oke, tapi kalau soal narasi politik yang dibangun dari kunjungan itu, ya nggak bunyi," kata Nyarwi.
"Presiden kita nggak hobi berdebat atau berargumen yang berat-berat," ujar Nyarwi. "Memang yang paling aman main di simbolisasi, aspek style, kalau perdebatan soal yang substansi, mungkin itu melahirkan perdebatan yang istana tidak siap merespons."
Kepala Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Firman Noor, menilai bahwa aksi Jokowi itu merupakan "sebuah komunikasi yang efektif dan menarik perhatian dan juga dalam rangka sebuah tugas sebagai seorang presiden".
"Hanya saja, menurut saya, terlalu ringan. Akan dikenang sebagai sebuah kegiatan yang sekadarnya. Menurut saya, harusnya sebagai seorang presiden dengan negara sebesar Indonesia ini dan juga sudah cukup lama memerintah, harus banyak pesan-pesan yang lebih mendalam. Tidak hanya sekadar dikejar-kejar orang, terus selfie, that's it (itu saja)," ujarnya.
- UU MD3: Tolak teken UU kontroversial, Presiden Jokowi 'bermain di dua sisi'?
- Apakah kebijakan pemerataan ekonomi Presiden Jokowi tepat sasaran?
"Saya tidak ingin bilang (pesannya harus) filosofis ya, tapi meaningful (berarti) dan punya daya gugah yang lebih besar, cukup dikenang dan tidak hanya menimbulkan impresi-impresi yang sifatnya ringan seperti ini. Tapi ya untuk sekadar hiburan, why not (kenapa tidak)?"
Firman mencontohkan dengan gaya komunikasi verbal Presiden Obama dalam pertemuan-pertemuan informal.
"Momen-momen yang ringan bagi Obama itu terkesan berat, bukan hanya dari sekadar kesan akan perilakunya, tapi juga ada penyapaan yang orang bisa tersentuh, juga ditambah beberapa statement (pernyataan) yang bisa menjadi pesan dia, oleh-oleh dia untuk dibawa ke rumah, dibagikan (seseorang) ke komunitasnya."
"Seharusnya dengan posisi dia (Presiden Jokowi) yang sudah cukup lama sebagai presiden sudah terlatih. Itu yang menurut saya harus ditambah," kata Firman.
"Untuk sekadar selfie, menurut saya, disayangkan, kalau porsinya sebesar itu saja, pencitraan. Politik adalah pencitraan memang dan itu hal yang wajar, tapi akan lebih baik kalau lebih naik kelas, kalau saya boleh mengatakan itu," ujar Firman.
Firman tak menilai bahwa acara touring sebagai sesuatu yang salah total, tapi "bisa lebih bermakna".
Sementara itu, pakar komunikasi politik Universitas Jayabaya, Lely Arrianie, menilai bahwa apa yang dilakukan oleh Presiden Jokowi dalam kunjungannya kali ini malah justru menegaskan identitasnya yang asli meski juga "merespons gaya milenial".
- Perkawinan putri Jokowi: Kirab kereta kencana, senyum Kahiyang, dan kuda bernama Srikandi
- 'Curhat' Presiden Jokowi soal bisnis anak-anaknya: martabak dan pisang goreng
"Bagaimana orang mempresentasikan diri di panggung politik, biasanya ketika orang mendapatkan identitas politik baru itu terjadi pergeseran model perilaku politiknya, Bisa dilihat dari pakaian yang dikenakan, kendaraan, ini berlaku umum, ketika mereka-mereka yang biasanya tidak pakai jas, tapi ketika hadir di panggung politik itu pakai jas lengkap dengan dasinya, dari Innova pakai Jaguar, yang saya lihat apa yang terjadi pada Pak Jokowi justru tidak," kata Lely.
Selain itu, Lely juga melihat bahwa acara pembagian sertifikat dan kunjungan kerja yang dilakukan Presiden Jokowi dan rombongannya menjadi sesuatu yang informal.
"Kalau dulu kan ketika Presiden Soeharto, dan termasuk presiden sesudahnya, kalau mengunjungi proyek padat karya biasanya panggung presiden sudah disiapkan sedemikian rupa, jadi bisa ditutupi, siapa yang harus bicara dengan Presiden, kalimat apa yang disampaikan itu sudah diatur."
"Justru bukannya dengan cara seperti ini Presiden Jokowi bisa melihat langsung, apa yang ingin dia nilai, apa yang ingin dia selidiki?," ujar Lely.
0 komentar:
Posting Komentar